Sabtu, 03 Desember 2016

ARTIKEL ILMIAH



Pendidikan Bernurani Berdasarkan Konsep Pendidikan yang Ideal Menurut Alexander Sutherland Neill

Sularsih
Filsafat Pendidikan, Rombel 1,1102415020

Abstract
Education is an activity to teach, guide, educate or train someone moving towards change for the better. The world of education is a world that is supposed to provide children the opportunity to develop in accordance with his true identity. The concept of conscientious education is an educational praxis that mengutmakan interests of learners. An educator can not impose their will on the students. Educators can not force students to be as he wants, because students have a right to determine his own destiny. Education must also provide comfort and security to the learners. A comfortable environment will endorse and motivate students to learn. Education should not only pay attention or priority to the intellectual development alone. But it is also a must, pay attention to the moral development of students. Application of conscientious education, building on the concept of liberating and joyful, is one of the very concept of education envisioned by learners. Writing this article aims to open our eyes about the true nature of education, which is not just merely chasing the target or purpose of the institution.
Keywords: Conscientious education, Educational ideal, A.S. Neill.
Abstrak
Pendidikan merupakan suatu kegiatan mengajar, membimbing, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan yang lebih baik. Dunia pendidikan merupakan dunia yang seharusnya dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan jati dirinya. Konsep pendidikan bernurani merupakan praksis pendidikan yang mengutmakan kepentingan peserta didik. Seorang pendidik tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Pendidik tidak bisa memaksa peserta didik untuk menjadi seperti yang dia inginkan, karena peserta didik berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Pendidikan juga harus memberikan kenyamanan serta keamanan pada peserta didiknya. Lingkungan yang nyaman akan medukung dan memotivasi siswa dalam belajar. Pendidikan seharusnya tidak hanya memperhatikan atau mengutamakan perkembangan intelektual saja. Tetapi juga harus, memperhatikan perkembangan moral peserta didik. Penerapan pendidikan bernurani dengan berlandaskan pada konsep yang membebaskan dan membahagiakan, merupakan salah satu konsep pendidikan yang sangat diimpikan oleh peserta didik. Penulisan artikel ini bertujuan untuk membuka mata kita mengenai hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yang tidak hanya melulu mengejar target atau tujuan lembaga.
Kata kunci: Pendidikan Bernurani, Pendidikan yang Ideal, A.S. Neill

PENDAHULUAN
Alexander Sutherland Neill atau sering dipanggil Neill adalah salah satu tokoh dalam dunia pendidikan yang lahir pada 17 Oktober 1883 di Forgar, Angus, Skotlandia. Sejak usia muda beliau meniti karier sebagai guru di sekolah ayahnya Neill pernah berkali-kali menjadi asisten guru. Pada usianyayang ke-dua puluh lima tahun Neill meraih gelar M.A. dalam bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Edinburgh. Pada 1915, semasa menduduki jabatan kepala sekolah di sebuah sekolahan Skotlandia.  Neill merilis buku perdananya dengan judul A Dominie’s Log. Sebagai seorang tokoh pendidikan Neill memiliki pemikiran-pemikiran mengenai dunia pendidikan. pemikiran-pemikiran tersebut banyak dituangkan dalam karya-karyanya. Salah satu pemikirannya yang terkenal yaitu mengenai konsep pendidikan yang ideal. Dimana menurut Neill dalam bukunya yang berjudul Summerhill School, hakikat pendidikan yang ideal yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan peserta didiknya. Pemikiran-pemikiran tersebut benar-benar diimplemenatsikan oleh Neill di sekolah yang didirikannya yaitu sekolah Summerhill. Pendidikan sendiri merupakan suatu kegiatan mengajar, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.  Proses pendidikan tersebut seharusnya dapat terlaksana dengan baik tanpa menghilangkan hak-hak anak atau peserta didik. Namun kerapkali terdapat konsep pemikiran yang salah mengenai hakikat pendidikan yang sebenarnya. Dimana pemikiran tersebut hanya berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan tanpa memperhatikan kondisi peserta didik. Peserta didik kerapkali dianggap seperti robot yang harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan perintah atau tujuan yang telah ditentukan oleh lembaga pendidikan, tanpa bisa memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri. Setiap anak memiliki potensi atau kemampuan sendiri-sendiri yang tidak dapat disamakan dengan anak lain, karena setiap anak itu unik. Perbedaan tersebut harusnya dapat diperhatikan oleh pendidik. Setiap potensi yang dimiliki oleh individu seharusnya dapat dikembangkan dengan maksimal melalui proses pendidikan. Konsep pendidikan yang ideal memang masih banyak diperbincangkan. Pendidikan yang ideal merupakan suatu impian bagi peserta didik maupun pendidik. Namun pendidikan yang ideal memiliki pemahaman yang berbeda apabila dilihat dari sudut pandang peserta didik dan pendidik. Hal itu menyebabkan adanya kesenjangan pendidikan dalam artian pendidikan tidak berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Pendidikan yang berlangsung hanya mengarah ke pencapaian tujuan yang telah ditentukan dan kerapkali hak-hak peserta didik dikesampingkan, demi tercapainya tujuan tersebut.
PEMBAHASAN
Pendidikan yang ideal menurut A.S Neill dalam bukunya yang berjudul Summerhill School yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan anak. Konsep ini muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman Neill selama menjadi guru. Dimana kondisi yang sering ia jumpai adalah anak yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah, Neill tidak setuju dengan pendidikan yang semacam itu karena menurutnya sekolahlah yang harus disesuaikan  dengan kondisi siswa. Konsep pemikiran Neill lahir berdasarkan kajian psikologis. A.S. Neill percaya bahwa perkembangan emosional anak lebih penting daripada perkembangan intelektual atau kognitif anak. Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul “Konsep Penanganan Anak Bermasalah menurut Alexander Sutherland Neill dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam” menyebutkan bahawa pemikiran Neill sendiri dipengaruhi oleh dua orang tokoh sebelumnya, tokoh tersebut yaitu Homer Lane dan Whilhelm Reich.
Dunia pendidikan merupakan dunia yang seharusnya dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan jati dirinya. Dimana pendidikan tersebut harus lebih mengedapankan kebutuhan peserta didik. Konteks pendidikan yang dimaksud disini yaitu pendidikan bernurani. Berdasarkan buku karangan Moh. Yamin yang berjudul Sekolah yang Membebaskan, pendidikan bernurani yaitu praksis pendidikan yang mendahulukan kepentingan para peserta didik dalam segala aspek. Pendidikan yang bernurani tersebut merupakan salah satu kontekstualisasi dari pemikiran A.S. Neill mengenai hakikat pendidikan yang ideal. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang humanis, yang memperlakukan manusia secara manusiawi serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Manusia lahir di dunia membawa kodratnya dan potensinya masing-masing, yang perlu dikembangkan dalam kehidupannya. Melalui pendidikan potensi tersebut seharusnya dapat berkembang sesuai dengan seharusnya. Perkembangan dalam diri anak tidak dapat dipaksakan atau dikekang oleh siapapun termasuk oleh pendidik. Pendidikan yang baik bukanlah kegiatan yang dilakukan di gedung sekolah yang mewah, dengan berbagai peraturan dan larangan yang harus dipatuhi oleh peserta didik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan atau membebaskan peserta didiknya baik dalam aspek berpikir mauapun aspek kehidupan lainnya. Pendidikan yang membebaskan disini bukanlah bebas sepenuhnya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Jadi, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang sifatnya positif, yang mampu menumbuhkan tanggung jawab peserta didik tanpa membuat peserta didik merasa tertekan atau terkekang.
            Menurut pendapat YB. Mangunwijaya yang diulas dalam buku Liberalisasi Pendidikan, proses pendidikan yang hanya mengacu pada peraturan-peraturan serta tujuan nasional hanya akan menghasilkan manusia-manusia bermental “kuli” atau “babu”. Hal ini karena peserta didik hanya belajar sesuai dengan perintah atau aturan, yang menjadikannya menjadi seorang penurut. Proses pendidikan yang hanya mengejar target tujuan nasional tanpa mengindahkan perkembangan moral peserta didik, hanya akan menghasilkan manusia-manusia pintar tapi tak bermoral. Maka tak heran jika terjadi demoralisasi dalam dunia pendidikan seperti halnya tawuran antar pelajar, kasus kriminal dan masih banyak lagi. Manusia yang menjunjung tinggi kekayaan intelektual tapi tak memiliki kekayaan hati nurani. Hal ini tentu sudah terbukti, dapat kita lihat di negara kita sendiri Indonesia, yaitu adanya kasus-kasus korupsi yang kebanyakan pelaku atau koruptor berasal dari golongan orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan tentu saja dengan kemampuan intelektual yang mumpuni. Mungkin kita juga pernah mendengar istilah atau ungkapan bahwa di Indonesia mudah ditemukan orang “pintar”, tapi sulit ditemukan orang “benar”. Hal ini tentu tidak terlepas dari faktor sistem pendidikan di Indonesia yang seringkali hanya mengejar nilai. Tanpa memperhatikan perkembangan moral peserta didik. Meskipun saat ini sudah banyak diterapkan pendidikan karakter pada peserta didik. Namun, tetap saja akademiklah yang menjadi tujuan utama. Padahal, pendidikan bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja. Seperti halnya pendapat dari Paulo Freire yang dikutip oleh Masykur H Mansyur, yakni mengenai pendidikan gaya bank, dimana murid hanya beraktivitas sekedar menerima pengetahuan, mencatat dan menghfal materi yang diberikan oleh pendidik. Pendidikan bukan hanya sekedar pemeberian pengetahuan saja, tetapi  juga mengenai pemberian pemahaman tentang kehidupan serta segala aspeknya. Hal ini bertujuan untuk membekali peserta didik dalam menjalani kehidupan pada nantinya. Dimana permasalahan-permasalah yang muncul, tidak selalu dapat diselesaikan dengan pengetahuan yang terus menerus diberikan di sekolah.
Pendapat dari Neill sendiri yang diulas oleh Sidiq Fatonah dalam penelitiannya menyatakan bahwa Neill mengajukan “Hearts Not Head in The Schools"  (Hati bukan Otak Yang Diutamakan di Sekolah), menurut Neill jika emosi dibiarkan benar-benar bebas, maka intelek akan tercapai dengan sendirinya. Dengan kata lain kemampuan intelektual bergantung pada perkembangan emosi. Keadaan emosi yang mendukung akan memotivasi siswa dalam belajar. Dengan memiliki motivasi, maka peserta didik akan memiliki semangat dalam belajar. Motivasi dan semangat tersebut akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Brillianty (2003) yang dikutip oleh Munlifatun Sadiyah, Brillianty menyatakan bahwa berhasilnya pendidikan tidak tergantung pada tingkat kecerdasan semata. Faktor emosi ternyata ikut serta mempengaruhi hasil belajar. Agar anak selalu dalam emosi yang baik, maka dibutuhkan lingkungan yang dapat memberikan kenyamanan, keamanan serta dukungan pada anak. Dunia sekolah saat ini memang sudah melarang adanya praktik kekerasan dalam pendidikan. Meskipun terkadang masih ditemukan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Sekolah dalam hal ini memang sudah berusaha dalam pemberian keamanan pada anak. Namun ada hal lain yang seringkali terlupakan, yaitu mengenai kondisi psikologis anak. Adanya larangan kekerasan, hanya memberikan perlindungan fisik pada anak. Sementara kondisi psikologis anak juga sangat penting. Pemberian tugas-tugas yang menumpuk serta adanya target dalam pendidikan, akan memberikan tekanan atau beban pada anak. Hal tersebut dapat memicu timbulnya frustasi atau depresi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak tersebut. Ujian yang diadakan di sekolah juga memberikan tekanan psikologis pada anak. Rasa ketakutan saat menghadapi ujian serta khawatir apabila tidak bisa lulus akan dibully  menjadi beban tersendiri. Sehingga, tidak heran jika seringkali ditemukan kasus bunuh diri pada kalangan peserta didik, yang disebabkan karena tidak lulus ujian. Ujian yang hanya menilai aspek akademik, seolah menjadi penentu kehidupan peserta didik. Hal ini tentu tidak adil, mengingat pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang pandai atau unggul dalam bidang akademik, namun ada juga anak yang kurang pandai dalam bidang akademik tapi unggul di bidang lain. Dari hal tersebut maka diperlukan adanya konsep pendidikan yang bernurani, yang tidak hanya mengutamakan kepentingan atau tujuan lembaga pendidikan saja. Tapi lebih mengutamakan kepentingan anak atau peserta didik dalam segal aspek.
            Pada dasarnya pendidikan yang bernurani merupakan pendidikan yang bisa memberikan kenyamanan serta rasa aman pada peserta didiknya. Apabila kondisi tersebut telah terpenuhi maka proses pendidikan akan dapat berjalan dengan baik. Pendidikan seperti ini mungkin tidak jauh berbeda dengan konsep pendidikan liberal yang mengutamakan kepentingan siswa dan memerdekakan hak-hak peserta didik. Prinsip pendidikan bernurani yang menjunjung tinggi humanisme, memilik kesesuaian dengan konsep pemikiran A.S. Neill. Dimana pemikiran tersebut diimplementasikan oleh Neill di sekolah yang didirikannya yaitu Summerhill School. Sekolah ini mungkin menjadi sekolah yang diimpikan oleh peserta didik. Sekolah asrama ini memang memberikan kebebasan pada seluruh peserta didiknya. Mereka bebas melakukan apapun, tidak ada larangan di sekolah ini. Tidak ada tuntutan dari pendidik terhadap peserta didik. Disini peserta didik dapat merasakan apa itu kebebasan. Hal ini memberikan sedikit pemahaman bahwa sebagai seorang pendidik, kita tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak kita. Kita tidak bisa memaksa anak atau peserta didik untuk menjadi seperti apa yang kita inginkan. Karena, mereka memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Kita hanya perlu mendukung, mengarahkan serta membimbing mereka, agar apa yang mereka cita-citakan dapat tercapai tanpa harus menuntut mereka untuk menjadi seperti apa yang kita mau. Adanya tuntutan-tuntutan dari pendidik, hanya akan membuat peserta didik menjadi seperti boneka, yang dimainkan serta diatur oleh pendidik. Hal ini justru akan membuat potensi-potensi dalam diri peseta didik semakin terkubur dan sulit untuk digali serta dikembangkan secara maksimal. Karena peserta didik hanya akan belajar sesuai dengan kemauan pendidik, bukan karena kemauannya sendiri.
Konsep pendidikan yang memerdekakan peserta didik juga datang dari pemikiran tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran tersebut dikutip oleh Henricus Suparlan dalam jurnalnya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia”, diungkapkan bahwa dasar kemerdekaan yang mengandung pengertian bahwa hal itu sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia dengan memberikan hak untuk mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingat syarat tertib damainya (orde en vrede) hidup masyarakat. Sementara menurut A.S. Neill sebagaimana yang dikutip oleh Erva Ema, pendidikan pembebasan adalah pendidikan yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada siswa, memberikan anak-anak bebas menjadi diri mereka sendiri. Selain itu pendidikan yang diterapkan oleh A.S. Neill juga menerapkan sistem demokrasi. Dimana setiap anak memiliki hak yang sama dengan guru, staff maupun karyawan dalam memutuskan segala kebijakan yang berakaitan dengan kepentingan bersama. Dalam hal ini membuktikan bahwa hak dalam mengemukakan pendapat sangat dijunjung tinggi di Summerhill. Suara atau pendapat peserta didik tidak diacuhkan begitu saja, tetapi didengar dan ikut mementukan dalam pembuatan kebijakan.
            Pendidikan atau sekolah ideal seringkali diidentikkan dengan proses belajar yang terjadi di gedung mewah dengan fasilitas yang serba terpenuhi serta tenaga pendidik atau guru dengan gelar yang tinggi. Pemahaman ini sangat keliru, sekolah atau pendidikan yang ideal sebenarnya tidak harus dilakukan di gedung mewah. Pendidikan yang terus menerus dilakukan di gedung atau bangunan seolah hanya akan menjadi penjara bagi anak. Sejalan dengan pendapat Paul Godman yang dikutip oleh Moh. Yamin bahwa pendidikan yang diterapkan di sekolah merupakan satu bentuk pemakasaan kepada peserta didik, sehingga apa yang disampaikan harus bisa ditelan dengan sedemikian mentah-mentah.  Pendidikan sebenarnya bisa dilakukan dimana saja dan bisa diberikan oleh siapa saja, seorang pendidik yang baik tidak harus memiliki  gelar tinggi seperti sarjana, profesor maupun insinyur. Seorang guru yang baik adalah seseorang yang bisa memberikan tauladan dan memahami kondisi peserta didik. Sekolah-sekolah favorit atau unggulan yang selama ini dianggap memiliki sistem pendidikan yang ideal, tidak bisa menjamin menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul, adakalanya sekolah-sekolah pinggiran atau swasta yang dianggap memiliki kualitas pendidikan rendah justru bisa mencetak lulusan-lulusan yang jauh lebih baik daripada sekolah unggulan tersebut.
Kelebihan
Sistem pendidikan bernurani merupakan sistem pendidikan yang humanis atau manusiawi. Sehingga hak-hak peseta didik sangat dijunjung tinggi dan dihargai. Pendidikan yang seperti ini sangat memperhatikan perkembangan moral dan emosional anak dan akan menghasilkan peserta didik yang memiliki bermoral baik. Selain itu konsep pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak. Konsep pendidikan ini memberikan pemahaman pada kita bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga kita tidak bisa menyamakan atau membandingkan antara anak yang satu dengan yang lain.
Kekurangan
Pendidikan yang membebaskan tidak bisa diterapkan pada semua karakter anak. Sistem pendidikan seperti ini hanya bisa diterapkan pada anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan kemauan belajar yang tinggi. Apabila diterapkan pada anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan kemauan belajar yang rendah, maka tidak menutup kemungkinan anak tersebut bukan makin berkembang justru akan semakin tertinggal. Selain itu sistem pendidikan ini hanya menjunjung tinggi moral atau emosional anak, tanpa memperhatikan kemampuan intelektual anak. Sementara kemampuan intelektual anak juga penting, antara intelektual dan moral atau emosional keduanya harus seimbang. Disamping  itu berdasarkan buku  Summerhill Schhool karangan A.S. Neill, mengungkapkan bahwa  pendidikan yang diterapkan oleh A.S. Neill tidak mengajarkan pendidikan agama, hal ini berbanding  terbalik dengan pendidikan di Indonesia yang menjunjung tinggi pendidikan agama.
Kontekstualisasi untuk pendidikan di Indonesia saat ini
Konsep pendidikan yang membebaskan serta memerdekakan siswa dalam segala aspek, seperti yang diterapkan oleh A.S. Neill memang belum sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan karakter masyarakat Indonesia yang kurang mendukung, apabila menggunakan konsep pendidikan tersebut. Kontekstualisasi sistem pendidikan A.S. Neill di Indonsia, salah satunya yaitu berkembangnya sekolah asrama sesuai dengan bentuk sekolah Summerhill, meski sekolah asarma di Indonesia tidak sebebas di Summerhill School. Sementara, dalam konteks lain konsep pendidikan bernurani yang mengutamakan kepentingan siswa dapat kita lihat untuk saat ini, seperti tugas guru yang menjadi fasilitator dalam pendidikan. Dimana dalam hal ini siswa diberi kebebasan dalam hal belajar, sementara guru bertugas memfasilitasi, membimbing, membantu serta mendampingi peseta didik dalam kegiatan belajar.
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan merupakan suatu kegiatan mengajar, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan yang lebih baik. Arah perubahan tersebut tidak dapat ditentukan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Pendidikan tidak harus selalu berorientasi pada tujuan. Karena yang lebih adalah berorientasi pada peserta didik. Pendidikan bernurani yaitu praksis pendidikan yang mendahulukan kepentingan para peserta didik dalam segala aspek. Sementara itu pendidikan yang ideal adalah menurut A.S. Neill yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan peserta didiknya. Pendidikan yang membebaskan merupakan pendidikan yang humanis, yang memperlakukan manusia secara manusiawi serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Seorang pendidik tidak bisa memaksa peserta didik menjadi apa yang dia inginkan. Hal ini hanya akan menimbulkan ketakuatan pada diri peserta didik. Karena manusia lahir di dunia membawa kodratnya dan potensinya masing-masing, yang perlu dikembangkan dalam kehidupannya. Melalui pendidikan potensi tersebut seharusnya dapat berkembang sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ema, Erva. 2015. Pendidikan Berbasis Pembebasan (Komparasi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Paulo Freire). Skripsi. Surakarta: Fakultas Agama Islam, Program Studi Tarbiyah, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Fatonah, Sidiq. (tahun tidak dicantumkan). Konsep Penanganan Anak Bermasalah menurut Alexander Sutherland Neill dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam. (volume tidak dicantumkan) hal 1-16.
Mansyur, M.H. 2014. Pendidikana Ala “Paulo Freire” Sebuah Renungan. Volume 1, No 1 (hal 64-76)
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Neill, A.S. (penerjemah: Agung Prihantoro). 2007. Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Suparlan, Henricus. 2014. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Volume 25, Nomor 1 (hal 2-19).
Yamin, Moh. 2012. Sekolah yang Membebaskan. Malang: Madani.

0 komentar:

Posting Komentar