Sabtu, 03 Desember 2016

ARTIKEL ILMIAH



Pendidikan Bernurani Berdasarkan Konsep Pendidikan yang Ideal Menurut Alexander Sutherland Neill

Sularsih
Filsafat Pendidikan, Rombel 1,1102415020

Abstract
Education is an activity to teach, guide, educate or train someone moving towards change for the better. The world of education is a world that is supposed to provide children the opportunity to develop in accordance with his true identity. The concept of conscientious education is an educational praxis that mengutmakan interests of learners. An educator can not impose their will on the students. Educators can not force students to be as he wants, because students have a right to determine his own destiny. Education must also provide comfort and security to the learners. A comfortable environment will endorse and motivate students to learn. Education should not only pay attention or priority to the intellectual development alone. But it is also a must, pay attention to the moral development of students. Application of conscientious education, building on the concept of liberating and joyful, is one of the very concept of education envisioned by learners. Writing this article aims to open our eyes about the true nature of education, which is not just merely chasing the target or purpose of the institution.
Keywords: Conscientious education, Educational ideal, A.S. Neill.
Abstrak
Pendidikan merupakan suatu kegiatan mengajar, membimbing, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan yang lebih baik. Dunia pendidikan merupakan dunia yang seharusnya dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan jati dirinya. Konsep pendidikan bernurani merupakan praksis pendidikan yang mengutmakan kepentingan peserta didik. Seorang pendidik tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Pendidik tidak bisa memaksa peserta didik untuk menjadi seperti yang dia inginkan, karena peserta didik berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Pendidikan juga harus memberikan kenyamanan serta keamanan pada peserta didiknya. Lingkungan yang nyaman akan medukung dan memotivasi siswa dalam belajar. Pendidikan seharusnya tidak hanya memperhatikan atau mengutamakan perkembangan intelektual saja. Tetapi juga harus, memperhatikan perkembangan moral peserta didik. Penerapan pendidikan bernurani dengan berlandaskan pada konsep yang membebaskan dan membahagiakan, merupakan salah satu konsep pendidikan yang sangat diimpikan oleh peserta didik. Penulisan artikel ini bertujuan untuk membuka mata kita mengenai hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yang tidak hanya melulu mengejar target atau tujuan lembaga.
Kata kunci: Pendidikan Bernurani, Pendidikan yang Ideal, A.S. Neill

PENDAHULUAN
Alexander Sutherland Neill atau sering dipanggil Neill adalah salah satu tokoh dalam dunia pendidikan yang lahir pada 17 Oktober 1883 di Forgar, Angus, Skotlandia. Sejak usia muda beliau meniti karier sebagai guru di sekolah ayahnya Neill pernah berkali-kali menjadi asisten guru. Pada usianyayang ke-dua puluh lima tahun Neill meraih gelar M.A. dalam bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Edinburgh. Pada 1915, semasa menduduki jabatan kepala sekolah di sebuah sekolahan Skotlandia.  Neill merilis buku perdananya dengan judul A Dominie’s Log. Sebagai seorang tokoh pendidikan Neill memiliki pemikiran-pemikiran mengenai dunia pendidikan. pemikiran-pemikiran tersebut banyak dituangkan dalam karya-karyanya. Salah satu pemikirannya yang terkenal yaitu mengenai konsep pendidikan yang ideal. Dimana menurut Neill dalam bukunya yang berjudul Summerhill School, hakikat pendidikan yang ideal yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan peserta didiknya. Pemikiran-pemikiran tersebut benar-benar diimplemenatsikan oleh Neill di sekolah yang didirikannya yaitu sekolah Summerhill. Pendidikan sendiri merupakan suatu kegiatan mengajar, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.  Proses pendidikan tersebut seharusnya dapat terlaksana dengan baik tanpa menghilangkan hak-hak anak atau peserta didik. Namun kerapkali terdapat konsep pemikiran yang salah mengenai hakikat pendidikan yang sebenarnya. Dimana pemikiran tersebut hanya berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan tanpa memperhatikan kondisi peserta didik. Peserta didik kerapkali dianggap seperti robot yang harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan perintah atau tujuan yang telah ditentukan oleh lembaga pendidikan, tanpa bisa memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri. Setiap anak memiliki potensi atau kemampuan sendiri-sendiri yang tidak dapat disamakan dengan anak lain, karena setiap anak itu unik. Perbedaan tersebut harusnya dapat diperhatikan oleh pendidik. Setiap potensi yang dimiliki oleh individu seharusnya dapat dikembangkan dengan maksimal melalui proses pendidikan. Konsep pendidikan yang ideal memang masih banyak diperbincangkan. Pendidikan yang ideal merupakan suatu impian bagi peserta didik maupun pendidik. Namun pendidikan yang ideal memiliki pemahaman yang berbeda apabila dilihat dari sudut pandang peserta didik dan pendidik. Hal itu menyebabkan adanya kesenjangan pendidikan dalam artian pendidikan tidak berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Pendidikan yang berlangsung hanya mengarah ke pencapaian tujuan yang telah ditentukan dan kerapkali hak-hak peserta didik dikesampingkan, demi tercapainya tujuan tersebut.
PEMBAHASAN
Pendidikan yang ideal menurut A.S Neill dalam bukunya yang berjudul Summerhill School yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan anak. Konsep ini muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman Neill selama menjadi guru. Dimana kondisi yang sering ia jumpai adalah anak yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah, Neill tidak setuju dengan pendidikan yang semacam itu karena menurutnya sekolahlah yang harus disesuaikan  dengan kondisi siswa. Konsep pemikiran Neill lahir berdasarkan kajian psikologis. A.S. Neill percaya bahwa perkembangan emosional anak lebih penting daripada perkembangan intelektual atau kognitif anak. Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul “Konsep Penanganan Anak Bermasalah menurut Alexander Sutherland Neill dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam” menyebutkan bahawa pemikiran Neill sendiri dipengaruhi oleh dua orang tokoh sebelumnya, tokoh tersebut yaitu Homer Lane dan Whilhelm Reich.
Dunia pendidikan merupakan dunia yang seharusnya dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan jati dirinya. Dimana pendidikan tersebut harus lebih mengedapankan kebutuhan peserta didik. Konteks pendidikan yang dimaksud disini yaitu pendidikan bernurani. Berdasarkan buku karangan Moh. Yamin yang berjudul Sekolah yang Membebaskan, pendidikan bernurani yaitu praksis pendidikan yang mendahulukan kepentingan para peserta didik dalam segala aspek. Pendidikan yang bernurani tersebut merupakan salah satu kontekstualisasi dari pemikiran A.S. Neill mengenai hakikat pendidikan yang ideal. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang humanis, yang memperlakukan manusia secara manusiawi serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Manusia lahir di dunia membawa kodratnya dan potensinya masing-masing, yang perlu dikembangkan dalam kehidupannya. Melalui pendidikan potensi tersebut seharusnya dapat berkembang sesuai dengan seharusnya. Perkembangan dalam diri anak tidak dapat dipaksakan atau dikekang oleh siapapun termasuk oleh pendidik. Pendidikan yang baik bukanlah kegiatan yang dilakukan di gedung sekolah yang mewah, dengan berbagai peraturan dan larangan yang harus dipatuhi oleh peserta didik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan atau membebaskan peserta didiknya baik dalam aspek berpikir mauapun aspek kehidupan lainnya. Pendidikan yang membebaskan disini bukanlah bebas sepenuhnya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Jadi, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang sifatnya positif, yang mampu menumbuhkan tanggung jawab peserta didik tanpa membuat peserta didik merasa tertekan atau terkekang.
            Menurut pendapat YB. Mangunwijaya yang diulas dalam buku Liberalisasi Pendidikan, proses pendidikan yang hanya mengacu pada peraturan-peraturan serta tujuan nasional hanya akan menghasilkan manusia-manusia bermental “kuli” atau “babu”. Hal ini karena peserta didik hanya belajar sesuai dengan perintah atau aturan, yang menjadikannya menjadi seorang penurut. Proses pendidikan yang hanya mengejar target tujuan nasional tanpa mengindahkan perkembangan moral peserta didik, hanya akan menghasilkan manusia-manusia pintar tapi tak bermoral. Maka tak heran jika terjadi demoralisasi dalam dunia pendidikan seperti halnya tawuran antar pelajar, kasus kriminal dan masih banyak lagi. Manusia yang menjunjung tinggi kekayaan intelektual tapi tak memiliki kekayaan hati nurani. Hal ini tentu sudah terbukti, dapat kita lihat di negara kita sendiri Indonesia, yaitu adanya kasus-kasus korupsi yang kebanyakan pelaku atau koruptor berasal dari golongan orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan tentu saja dengan kemampuan intelektual yang mumpuni. Mungkin kita juga pernah mendengar istilah atau ungkapan bahwa di Indonesia mudah ditemukan orang “pintar”, tapi sulit ditemukan orang “benar”. Hal ini tentu tidak terlepas dari faktor sistem pendidikan di Indonesia yang seringkali hanya mengejar nilai. Tanpa memperhatikan perkembangan moral peserta didik. Meskipun saat ini sudah banyak diterapkan pendidikan karakter pada peserta didik. Namun, tetap saja akademiklah yang menjadi tujuan utama. Padahal, pendidikan bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja. Seperti halnya pendapat dari Paulo Freire yang dikutip oleh Masykur H Mansyur, yakni mengenai pendidikan gaya bank, dimana murid hanya beraktivitas sekedar menerima pengetahuan, mencatat dan menghfal materi yang diberikan oleh pendidik. Pendidikan bukan hanya sekedar pemeberian pengetahuan saja, tetapi  juga mengenai pemberian pemahaman tentang kehidupan serta segala aspeknya. Hal ini bertujuan untuk membekali peserta didik dalam menjalani kehidupan pada nantinya. Dimana permasalahan-permasalah yang muncul, tidak selalu dapat diselesaikan dengan pengetahuan yang terus menerus diberikan di sekolah.
Pendapat dari Neill sendiri yang diulas oleh Sidiq Fatonah dalam penelitiannya menyatakan bahwa Neill mengajukan “Hearts Not Head in The Schools"  (Hati bukan Otak Yang Diutamakan di Sekolah), menurut Neill jika emosi dibiarkan benar-benar bebas, maka intelek akan tercapai dengan sendirinya. Dengan kata lain kemampuan intelektual bergantung pada perkembangan emosi. Keadaan emosi yang mendukung akan memotivasi siswa dalam belajar. Dengan memiliki motivasi, maka peserta didik akan memiliki semangat dalam belajar. Motivasi dan semangat tersebut akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Brillianty (2003) yang dikutip oleh Munlifatun Sadiyah, Brillianty menyatakan bahwa berhasilnya pendidikan tidak tergantung pada tingkat kecerdasan semata. Faktor emosi ternyata ikut serta mempengaruhi hasil belajar. Agar anak selalu dalam emosi yang baik, maka dibutuhkan lingkungan yang dapat memberikan kenyamanan, keamanan serta dukungan pada anak. Dunia sekolah saat ini memang sudah melarang adanya praktik kekerasan dalam pendidikan. Meskipun terkadang masih ditemukan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Sekolah dalam hal ini memang sudah berusaha dalam pemberian keamanan pada anak. Namun ada hal lain yang seringkali terlupakan, yaitu mengenai kondisi psikologis anak. Adanya larangan kekerasan, hanya memberikan perlindungan fisik pada anak. Sementara kondisi psikologis anak juga sangat penting. Pemberian tugas-tugas yang menumpuk serta adanya target dalam pendidikan, akan memberikan tekanan atau beban pada anak. Hal tersebut dapat memicu timbulnya frustasi atau depresi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak tersebut. Ujian yang diadakan di sekolah juga memberikan tekanan psikologis pada anak. Rasa ketakutan saat menghadapi ujian serta khawatir apabila tidak bisa lulus akan dibully  menjadi beban tersendiri. Sehingga, tidak heran jika seringkali ditemukan kasus bunuh diri pada kalangan peserta didik, yang disebabkan karena tidak lulus ujian. Ujian yang hanya menilai aspek akademik, seolah menjadi penentu kehidupan peserta didik. Hal ini tentu tidak adil, mengingat pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang pandai atau unggul dalam bidang akademik, namun ada juga anak yang kurang pandai dalam bidang akademik tapi unggul di bidang lain. Dari hal tersebut maka diperlukan adanya konsep pendidikan yang bernurani, yang tidak hanya mengutamakan kepentingan atau tujuan lembaga pendidikan saja. Tapi lebih mengutamakan kepentingan anak atau peserta didik dalam segal aspek.
            Pada dasarnya pendidikan yang bernurani merupakan pendidikan yang bisa memberikan kenyamanan serta rasa aman pada peserta didiknya. Apabila kondisi tersebut telah terpenuhi maka proses pendidikan akan dapat berjalan dengan baik. Pendidikan seperti ini mungkin tidak jauh berbeda dengan konsep pendidikan liberal yang mengutamakan kepentingan siswa dan memerdekakan hak-hak peserta didik. Prinsip pendidikan bernurani yang menjunjung tinggi humanisme, memilik kesesuaian dengan konsep pemikiran A.S. Neill. Dimana pemikiran tersebut diimplementasikan oleh Neill di sekolah yang didirikannya yaitu Summerhill School. Sekolah ini mungkin menjadi sekolah yang diimpikan oleh peserta didik. Sekolah asrama ini memang memberikan kebebasan pada seluruh peserta didiknya. Mereka bebas melakukan apapun, tidak ada larangan di sekolah ini. Tidak ada tuntutan dari pendidik terhadap peserta didik. Disini peserta didik dapat merasakan apa itu kebebasan. Hal ini memberikan sedikit pemahaman bahwa sebagai seorang pendidik, kita tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak kita. Kita tidak bisa memaksa anak atau peserta didik untuk menjadi seperti apa yang kita inginkan. Karena, mereka memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Kita hanya perlu mendukung, mengarahkan serta membimbing mereka, agar apa yang mereka cita-citakan dapat tercapai tanpa harus menuntut mereka untuk menjadi seperti apa yang kita mau. Adanya tuntutan-tuntutan dari pendidik, hanya akan membuat peserta didik menjadi seperti boneka, yang dimainkan serta diatur oleh pendidik. Hal ini justru akan membuat potensi-potensi dalam diri peseta didik semakin terkubur dan sulit untuk digali serta dikembangkan secara maksimal. Karena peserta didik hanya akan belajar sesuai dengan kemauan pendidik, bukan karena kemauannya sendiri.
Konsep pendidikan yang memerdekakan peserta didik juga datang dari pemikiran tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran tersebut dikutip oleh Henricus Suparlan dalam jurnalnya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia”, diungkapkan bahwa dasar kemerdekaan yang mengandung pengertian bahwa hal itu sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia dengan memberikan hak untuk mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingat syarat tertib damainya (orde en vrede) hidup masyarakat. Sementara menurut A.S. Neill sebagaimana yang dikutip oleh Erva Ema, pendidikan pembebasan adalah pendidikan yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada siswa, memberikan anak-anak bebas menjadi diri mereka sendiri. Selain itu pendidikan yang diterapkan oleh A.S. Neill juga menerapkan sistem demokrasi. Dimana setiap anak memiliki hak yang sama dengan guru, staff maupun karyawan dalam memutuskan segala kebijakan yang berakaitan dengan kepentingan bersama. Dalam hal ini membuktikan bahwa hak dalam mengemukakan pendapat sangat dijunjung tinggi di Summerhill. Suara atau pendapat peserta didik tidak diacuhkan begitu saja, tetapi didengar dan ikut mementukan dalam pembuatan kebijakan.
            Pendidikan atau sekolah ideal seringkali diidentikkan dengan proses belajar yang terjadi di gedung mewah dengan fasilitas yang serba terpenuhi serta tenaga pendidik atau guru dengan gelar yang tinggi. Pemahaman ini sangat keliru, sekolah atau pendidikan yang ideal sebenarnya tidak harus dilakukan di gedung mewah. Pendidikan yang terus menerus dilakukan di gedung atau bangunan seolah hanya akan menjadi penjara bagi anak. Sejalan dengan pendapat Paul Godman yang dikutip oleh Moh. Yamin bahwa pendidikan yang diterapkan di sekolah merupakan satu bentuk pemakasaan kepada peserta didik, sehingga apa yang disampaikan harus bisa ditelan dengan sedemikian mentah-mentah.  Pendidikan sebenarnya bisa dilakukan dimana saja dan bisa diberikan oleh siapa saja, seorang pendidik yang baik tidak harus memiliki  gelar tinggi seperti sarjana, profesor maupun insinyur. Seorang guru yang baik adalah seseorang yang bisa memberikan tauladan dan memahami kondisi peserta didik. Sekolah-sekolah favorit atau unggulan yang selama ini dianggap memiliki sistem pendidikan yang ideal, tidak bisa menjamin menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul, adakalanya sekolah-sekolah pinggiran atau swasta yang dianggap memiliki kualitas pendidikan rendah justru bisa mencetak lulusan-lulusan yang jauh lebih baik daripada sekolah unggulan tersebut.
Kelebihan
Sistem pendidikan bernurani merupakan sistem pendidikan yang humanis atau manusiawi. Sehingga hak-hak peseta didik sangat dijunjung tinggi dan dihargai. Pendidikan yang seperti ini sangat memperhatikan perkembangan moral dan emosional anak dan akan menghasilkan peserta didik yang memiliki bermoral baik. Selain itu konsep pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak. Konsep pendidikan ini memberikan pemahaman pada kita bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga kita tidak bisa menyamakan atau membandingkan antara anak yang satu dengan yang lain.
Kekurangan
Pendidikan yang membebaskan tidak bisa diterapkan pada semua karakter anak. Sistem pendidikan seperti ini hanya bisa diterapkan pada anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan kemauan belajar yang tinggi. Apabila diterapkan pada anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan kemauan belajar yang rendah, maka tidak menutup kemungkinan anak tersebut bukan makin berkembang justru akan semakin tertinggal. Selain itu sistem pendidikan ini hanya menjunjung tinggi moral atau emosional anak, tanpa memperhatikan kemampuan intelektual anak. Sementara kemampuan intelektual anak juga penting, antara intelektual dan moral atau emosional keduanya harus seimbang. Disamping  itu berdasarkan buku  Summerhill Schhool karangan A.S. Neill, mengungkapkan bahwa  pendidikan yang diterapkan oleh A.S. Neill tidak mengajarkan pendidikan agama, hal ini berbanding  terbalik dengan pendidikan di Indonesia yang menjunjung tinggi pendidikan agama.
Kontekstualisasi untuk pendidikan di Indonesia saat ini
Konsep pendidikan yang membebaskan serta memerdekakan siswa dalam segala aspek, seperti yang diterapkan oleh A.S. Neill memang belum sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan karakter masyarakat Indonesia yang kurang mendukung, apabila menggunakan konsep pendidikan tersebut. Kontekstualisasi sistem pendidikan A.S. Neill di Indonsia, salah satunya yaitu berkembangnya sekolah asrama sesuai dengan bentuk sekolah Summerhill, meski sekolah asarma di Indonesia tidak sebebas di Summerhill School. Sementara, dalam konteks lain konsep pendidikan bernurani yang mengutamakan kepentingan siswa dapat kita lihat untuk saat ini, seperti tugas guru yang menjadi fasilitator dalam pendidikan. Dimana dalam hal ini siswa diberi kebebasan dalam hal belajar, sementara guru bertugas memfasilitasi, membimbing, membantu serta mendampingi peseta didik dalam kegiatan belajar.
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan merupakan suatu kegiatan mengajar, mendidik atau melatih seseorang menuju kearah perubahan yang lebih baik. Arah perubahan tersebut tidak dapat ditentukan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Pendidikan tidak harus selalu berorientasi pada tujuan. Karena yang lebih adalah berorientasi pada peserta didik. Pendidikan bernurani yaitu praksis pendidikan yang mendahulukan kepentingan para peserta didik dalam segala aspek. Sementara itu pendidikan yang ideal adalah menurut A.S. Neill yaitu pendidikan yang membebaskan dan membahagiakan peserta didiknya. Pendidikan yang membebaskan merupakan pendidikan yang humanis, yang memperlakukan manusia secara manusiawi serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Seorang pendidik tidak bisa memaksa peserta didik menjadi apa yang dia inginkan. Hal ini hanya akan menimbulkan ketakuatan pada diri peserta didik. Karena manusia lahir di dunia membawa kodratnya dan potensinya masing-masing, yang perlu dikembangkan dalam kehidupannya. Melalui pendidikan potensi tersebut seharusnya dapat berkembang sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ema, Erva. 2015. Pendidikan Berbasis Pembebasan (Komparasi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Paulo Freire). Skripsi. Surakarta: Fakultas Agama Islam, Program Studi Tarbiyah, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Fatonah, Sidiq. (tahun tidak dicantumkan). Konsep Penanganan Anak Bermasalah menurut Alexander Sutherland Neill dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam. (volume tidak dicantumkan) hal 1-16.
Mansyur, M.H. 2014. Pendidikana Ala “Paulo Freire” Sebuah Renungan. Volume 1, No 1 (hal 64-76)
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Neill, A.S. (penerjemah: Agung Prihantoro). 2007. Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Suparlan, Henricus. 2014. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Volume 25, Nomor 1 (hal 2-19).
Yamin, Moh. 2012. Sekolah yang Membebaskan. Malang: Madani.

Artikel Populer (Wanita Dibalik Jilbab)




WANITA DIBALIK JILBAB
Sularsih
1102415020
Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan


Tersimpan sejuta makna tersembunyi
Antara ketulusan dan kemunafikkan
Antara iman dan gaya-gayaan
Menutup aurat, menjaga pandangan
Menghijab diri, menghijab hati
Belajar taat menghindari kualat

Sepotong kain ini mungkin memang tidak asing lagi, khususnya bagi wanita muslim yang memang diwajibkan untuk menutup aurat. Kata jilbab sendiri berasal dari bahasa Arab “jilbabu” yang artinya baju kurung panjang, sejenis jubah. Sedangkan definisi jilbab menurut Ensiklopedi hukum Islam yaitu sejenis pakaian yang longgar yang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, leher, dan dada (Muhammad 2015).
Bagi wanita muslim berhijab adalah suatu kewajiban. Dimana perintah tersebut juga termuat dalam beberapa ayat Al-quran. Salah satunya yaitu surah Al-Ahzab: 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.Bagi wanita muslim kewajiban tersebut memang sudah selayaknya dilaksanakan. Dimana pelaksanaannya juga harus disesuaikan dengan perintah agama. Seorang wanita yang berhijab hendaknya disesuaikan dengan syariat seperti, jilbab yang digunakan bisa menutupi rambut dan dada sepenuhnya, pakaian tidak transparan atau tembus pandang, serta tidak ketat atau memperlihatkan lekuk tubuh.
Wanita yang berjilbab, dalam masyarakat biasanya memang mendapatkan nilai plus. Hal ini karena adanya anggapan dalam masyarakat bahwa orang yang berhijab atau wanita berjilbab itu berarti memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Anggapan ini muncul karena pada awalnya berjilbab memang merupakan salah satu wujud ketaatan terhadap agama. Namun, seiring perkembangan zaman, anggapan tersebut mulai tergeser. Hal ini disebabkan karena pergeseran makna atau fungsi hijab itu sendiri, dimana fungsi hijab yang awalnya memang sebagai bentuk ketaatan terhadap agama menjadi hijab sebagai gaya hidup atau fashion. Dalam istilah fashion wanita yang berhijab namun tetap mengikuti tren dikenal dengan sebutan hijabers.
Maraknya fenomena berhijab saat ini juga mendapat berbagai respon dari masyarakaat. Pro-kontra adanya fenomena tersebut muncul dengan berbagai pandangan. Mereka yang pro, cenderung berpandangan positif bahwa dengan berhijab akan memberikan pengaruh yang baik bagi hijabers. Sementara mereka yang kontra, memiliki pandangan yang berbeda bahwa sebagian hijabers memilih berhijab hanya untuk gaya-gayaan bukan berlandaskan pada niat yang tulus.
Sebagian para hijabers mungkin memilih berhijab karena niatan atau berlandaskan untuk melaksanakan kewajiban beragama. Dimana mereka benar-benar ingin memperbaiki diri dan berharap dengan pilihan berhijab akan memberikan pengaruh yang baik. Selain itu dengan hijab yang mereka gunakan, bisa selalu mengingatkan mereka kepada Allah. Sehingga, mereka akan selalu berpikir dua kali dalam melakukan sesuatu dan menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Pakaian yang tertutup juga bisa menjadi tameng atau pelindung bagi wanita dari orang-orang nakal, laki-laki biasanya akan enggan untuk menggoda wanita yang berjilbab. Hal ini bisa kita lihat dari kebanyakan kasus kejahatan seksual yang lebih sering menimpa pada wanita yang tidak berjilbab. Dalam masyarakat, wanita yang berjilbab memang akan lebih dihargai dan dihormati.
Pada dasarnya tidak semua hijabers memilih berhijab karena alasan untuk melaksanakan perintah agama. Ada sebagian dari mereka yang memilih berhijab karena alasan tren fashion atau sekedar untuk gaya-gayaan. Untuk saat ini berhijab memang lebih dikenal sebagai salah satu gaya hidup. Sejalan dengan perkembangan zaman, gaya berhijab atau berjilbabpun semakin beraneka ragam mulai dari yang simple sampai yang rumit. Dimana tidak semua gaya berjilbab tersebut sesuai dengan syariat agama. Dalam dunia fashion sendiri, berhijab memang lebih berorientasi untuk mempercantik diri. Padahal hijab sendiri sebenarnya bukan bertujuan untuk mempercantik diri, melainkan untuk melindungi kecantikan (Nugraha 2013).
Wanita yang memang dikenal memiliki sejuta misteri menjadi semakin sulit ditebak dengan hijab yang mereka gunakan. Hal ini karena, hijab bukan lagi patokan untuk menilai karakter atau kepribadian seorang wanita. Seorang wanita yang berjilbab, tidak menjamin bahwa mereka memiliki kepribadian yang baik. Begitu juga sebaliknya, wanita yang tidak berjilbab belum tentu memiliki kepribadian buruk. Di lingkungan kita sendiri, mungkin kita sering menemukan wanita yang berhijab menggunakan pakaian yang terlalu ketat maupun transparan. Selain dari segi penampilan, kita juga bisa melihat perilaku para hijabers yang tidak mencerminkan nilai-nilai islami seperti pacaran, berpegangan tangan di depan umum, atau bahkan hal-hal lain yang melampaui batas. Dalam konteks tersebut sepertinya pepatah jawa yang mengatakan “ aji ning raga saka busana” tidak sepenuhnya berlaku. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dengan melihat penampilannya saja. Hal in mungkin lebih sesuai dengan pepatah dalam bahasa inggris “dont judge a book by its cover”. Kedua pepatah tersebut memang terdengar sangat bertolak belakang. Namun, kita tidak bisa membenarkan ataupun menyalahkan salah satunya. Kedua pepatah tersebut mungkin benar sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Seseorang yang berhijab juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkuungan tersebut bisa datang dari lingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga. Lingkungan yang menjujung tinggi nilai-nilai agama khusunya islam, akan berpengaruh terhadap orang-orang yang ada di dalamnya baik dari segi perilaku maupun cara berpenampilan salah satunya yaitu berhijab. Sementara jika dilihat dari lingkungan sekolah, untuk saaat ini memang banyak sekolah yang mewajibkan siswinya untuk berjilbab. Meskipun sekolah tersebut tidak berbasis islam. Dari lingkungan keluarga sendiri, mungkin ada sebagian keluarga atau orang tua yang sudah melatih anak-anaknya berjilbab sejak masih kecil. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap cara berpakaian anak tersebut kedepannya. Sehingga wajar saja jika anak tersebut akan berhijab pada saat dewasa, karena memang hal tersebut sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.
Mungkin memang benar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa “untuk berhijab kita tidak perlu menunggu sampai kita merasa layak untuk mengenakan hijab“.  Akan tetapi, setelah berhijab kita juga perlu untuk membenahi diri dan mencoba untuk memperbaiki akhlak serta ketaqwaan kita. Selain pendapat tersebut ada juga pendapat lain yang menjadi salah satu alasan mengapa wanita belum mau berhijab yaitu pendapat yang mengatakan bahwa “Saya merasa belum layak untuk mengenakan hijab”. Pendapat tersebut juga tidak bisa disalahkan, seseorang yang belum mau berhijab karena merasa belum layak akan lebih baik jika dibandingkan dengan wanita yang berhijab namun tidak mau memperbaiki diri serta akhlaknya. Wanita yang berhijab namun tidak mencerminkan bahwa ia seorang muslim yang baik, akan merusak citra dari hijab itu sendiri.  Hal ini pula yang menimbulkan adanya kontra dalam masyarakat mengenai para hijbers.
Pada saat ini dengan berjilbab juga bisa menjadi bentuk kesopanan. Dimana dalam masyarakat banyak wanita yang mengenakan hijab atau jilbab untuk bepergian ataupu bertamu, meskipun pada saat dirumah mereka tidak mengenakannya. Dengan kebiasaan ini, maka mereka akan merasa tidak nyaman jika harus bepergian tanpa mengenakan jilbab. Dari kasus tersebut, maka jilbab bisa dikatakan sebagai salah satu pakaian resmi untuk bepergian ataupun bertamu.
Dalam artikel ini yang ingin penulis tekankan, khususnya untuk para wanita muslim, kita boleh saja berhijab karena itu memang sudah menjadi kewajiban dan perintah agama. Akan tetapi setelah kita berhijab, juga harus diiringi dengan perbaikan diri. Berhijab juga harus karena niat yang tulus, bukan karena alasan fashion atau sekedar mengikuti tren yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Amry. 2015. “Studi Komparasi antara Akhlak Siswi yang Berjilbab di Sekolah Umum dan di Sekolah Islam (Studi antara SMA Negeri 2 Pekalongan dengan MAN 2 Pekalongan Tahun Pelajaran 2014/2015)”. Skripsi. UIN Walisongo, Semarang.
Nugroho, Indra. 2013. “Hijabers...oh Hijabers”. (Online)